Archive for the ‘Hikmah Islam’ Category

CARA KAPITALISME MENGUASAI DUNIA

Wednesday, July 8th, 2015

CARA KAPITALISME MENGUASAI DUNIA

Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal).

Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa?

Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini.

Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi?

Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).
Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya?

Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha.

Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini?

Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia.

Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.

Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?

Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya.

Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?

Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia. [Dwi Condro Triyono, Ph.D]

BELAJAR DARI KATA-KATA HIKMAH IMAM AS-SYAFI’I

Wednesday, June 10th, 2015

“Bila kamu tak tahan penatnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.”
– (Imam Syafi’i)

“Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafannya sedang ditenun”.
– (Imam Syafi’i)

“Orang yang berilmu dan beradab, tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu, merantaulah ke negeri orang”
– (Imam Syafi’i)

“Barangsiapa yang menginginkan Husnul Khatimah, hendaklah ia selalu bersangka baik dengan manusia”.
– (Imam Syafi’i)

“Doa di saat tahajud adalah umpama panah yang tepat mengenai sasaran.”
– (Imam Syafi’i)

“Ilmu itu bukan yang dihafal tetapi yang memberi manfaat.”
– (Imam Syafi’i)

“Seorang sufi tidak menjadi sufi jika ada pada dirinya 4 perkara: malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan”.
– (Imam Syafi”i)

“Siapa yang menasihatimu secara sembunyi-sembunyi maka ia benar-benar menasihatimu. Siapa yang menasihatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya menghinamu”
– (Imam Syafi’i)

“Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu”
– (Imam Syafi’i)

“Jangan cintai orang yang tidak mencintai Allah. Kalau Allah saja ia tinggalkan, apalagi kamu”
– (Imam Syafi’i)

Jika Muslim sakit

Wednesday, June 10th, 2015

Ikhtiar Pertama Apabila Seorang Muslim Sakit

Ada seorang dokter membuka klinik di Tanah Suci.
Selama 6 bulan praktek, tidak ada seorang pasienpun yang datang untuk berobat. Hingga beliau merasa heran, apakah orang-orang di sini tidak pernah sakit?

Akhirnya beliau temukan jawabannya.

Bila kami sakit, ikhtiar pertama yg kami lakukan ialah shalat dua rakaat, dan memohon kesehatan kpd Allah. In syaa Allaah sembuh dengan ijin dan kasih sayangNya.

Kalau belum sembuh, kami lakukan cara ke-dua. Yaitu baca Al Fatihah/ surat2 lain, tiupkan pada air dan minum.
Dan alhamdulillaah kami akan sehat.

Tapi kalau belum sehat juga, kami lakukan ikhtiar yg ke-tiga. Yaitu bersedekah, dengan niat mendapatkan pahala kebaikan, & dijadikan jalan penyembuh sakit kami. In syaa Allah akan sembuh.

Kalau tidak sembuh juga, kami akan tempuh ikhtiar yg ke-empat. Yaitu banyak2 istighfar, untuk bertaubat.
Sebab, Nabi صل الله عليه وسلم beritahu kami, bahwa sakit adalah salah satu sebab diampuninya dosa2.

Kalau belum sembuh juga, baru kami lakukan ikhtiar yg ke-lima. Yaitu madu dan habbatussauda.

Ikhtiar yg ke-enam yaitu dengan mengonsumsi herbal, seperti bawang putih, buah tin, zaitun, kurma, dan lain-lain, seperti disebut dalam Al Qur’an.

Dan, alhamdulillaah. Laa haulaa wa laa quwwataa illaa billaah. Di sini, kami pasti, dan pasti akan sembuh…tanpa ikhtiar ke-tujuh yaitu pergi ke dokter.

Wallaahu a’lam.

Selamat beraktifitas!
Mohon maaf bagi para dokter..

Jangan Berhenti di Satu Pintu!‬

Friday, April 10th, 2015

‪“Sesungguhnya Alloh membagi amal perbuatan sebagaimana Alloh membagi rezeki. Terkadang seseorang dibukakan pintu kebaikan untuk memperbanyak shalat, tetapi ia tidak dibukakan pintu untuk rajin berpuasa. Ada pula yang dibukakan pintu kebaikan untuk banyak bersedekah, tetapi tidak dibukakan pintu hatinya untuk rajin berpuasa. Dan ada pula orang yang dibukakan pintu kebaikan untuk berjihad, sedangkan yang lain tidak. Semoga masing-masing kita selalu berada dalam kebaikan.” (Imam Malik)‬

‪Jika kekurangan harta membuat kita tidak mampu beramal dari pintu sedekah, maka carilah pintu kebaikan lain yang dapat menambah amalan shalih kita.‬

‪Jika tubuh yang lemah membuat kita tidak mampu beramal dari pintu puasa, maka carilah pintu kebaikan lain yang dapat meningkatkan derajat kita di mata Alloh.‬

‪Jika ayah dan ibu kita telah tiada sehingga kita tidak mampu beramal shalih dari pintu berbakti kepada orang tua, maka carilah pintu kebaikan lain yang dapat memberatkan timbangan amal kebaikan kita.‬

‪Jika kondisi kita belum memungkinkan untuk beramal shalih dari pintu jihad, maka carilah pintu kebaikan lain yang dapat menghantarkan kita menuju kesyahidan di jalan-Nya.‬

Tempel Alloh, tempel Alloh.
Lakukan semuanya & dlm kondisi apapun bersama Alloh.
Bersama Alloh Bisa & ada solusinya.
‪Semoga masing-masing kita selalu berada dalam kebaikan, yg dibarokahi & diridhoi Alloh, aamiin Allahumma aamiin.‬ (WA)

TAHLILAN

Friday, April 10th, 2015

APAKAH TAHLILAN WARISAN AGAMA HINDU?

Okt 3

Posted by Tim Kreatif

Saudara -saudara kita mengatakan bahwa Tahlilan haram hukumnya karena warisan dari Agama Hindu, selamatan 7 Hari, 40, 100, dan 1000 hari. Adalah murni ritual Agama Hindu, Rasulullah melarang umatnya menyerupai dan mengamalkan adat adat orang kafir, sebagaimana Hadits Rasulullah S.A.W yang terdapat dalam Sunan Abu dawud Hadits no 4031 yang berbunyi:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”

JAWABAN KAMI:

Jawaban kami di bab ini kami bagi menjadi 2 bagian:

Pembahasan asal usul Tahlilan dan boleh tidaknya berdzikir di hari ke 7- 1000
Pembahasan hadits ““Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”

1. Pembahasan Asal Usul Tahlilan

Asal usul sejarah Tahlilan masih simpang siur, namun dari literatur yang kami telusuri, kami menemukan bahwa ritual ini telah ada semenjak abad ke 7 Hijriyah, dizaman itu banyak Ahli Dzikir yang bertahlil, bertasbih, dan bertahmid serta membaca Al Qur’an kemudian menghadiahkannya kepada orang mati, Ahli Dzikir ini sudah ada sejak zaman Ibnu Taimiyah hidup.

Berikut kutipan dari kitab Majmu’fatawa Ibnu Taimiyah juz 22 hal 305:

وسئل عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم فى الذكر بدعة, وهم يفتتحون بالقرأن ويختتمون, ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات, ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة, ويصلون على النبى.

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka,”Dzikir kalian ini Bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga Bid’ah”.Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan Al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan Tasbih, Tahmid, Tahlil, Takbir, Hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaabillaah) dan shalawat kepada Nabi saw.”

Lantas apa jawaban beliau? Apaka beliau menistakan ritual ini? Berikut jawabannya:

الإجتماع لذكر لله, واستماع كتابه, والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى اللأوقات. ففى الصحيح عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال: إن لله ملائكة سياحين فى لأرض, فإذا مروا بقوم يذكرون الله, تنادو هلموا إلى حاجتكم “

“Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan Al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk “Qurbah” (hal mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian dimuka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepadaAllah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”,

وأما محفظة الإنسان على أوراد له من الصلاة, أو القراءة, أو الذكر أو الدعاء طرفى النهار وزلفا من الليل, وغير ذالك, فهذا سنة رسول الله والصالحين من عباد الله قديما و حديثا

Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 305)

Dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi S.A.W berikut ini kami paparkan Atsar Shohabah yang menunjukkan bahwa tradisi selamatan atau shodaqoh dengan makanan selama 7 hari telah ada semenjak Sahabat Nabi.

Berikut Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim, dalam Hilyah al-Auliya juz 2 hal.12 Al Hawi Lil Fatawa Al Hafid Assuyuti juz 2 hal 168 dalam risalah ke 66

عن طاووس بن كيسان وعن عبيد بن عمير ومجاهد: (إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعاً فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام) ، وفي بعض الروايات “من يوم دفن الميت

Dari Imam Thawus bin Kaysan dari Ubaid Bin Amir dan Mujahid “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan dari keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.” dan di sebagian riwayat disebutkan dengan perkataan “dari hari dikuburnya si mayyit).

Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari dan membacakan Alqur’an kepada orang mati telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi SAW. Sudah barang tentu, para sahabatdan generasi salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu tidak ada di jazirah Arab.

Sementara selamatan 7 hari juga telah ada semenjak zaman kaum Salaf Sholeh, tepatnya ketika Syeikh Nasr Bin Ibrahim Al Muqoddas meninggal pada tanggal 9 Muharram 409 H.

Berikut terdapat riwayat yang tertulis di kitab Al Hawi lil Fatawa Imam Suyuthi juz 2 hal 183 :

وقال الحافظ السيوطي أيضا: في كتابه الحاوي للفتاوي- ورأيت في التواريخ كثيرا في تراجم الأئمة يقولون: وأقام الناس علي قبره سبعة أيام يقرأون القرآن ، وأخرج الحافظ الكبير أبو القاسم بن عساكر في كتابه المسمي: (تبين كذب المفتري فيما نسب إلي الإمام أبي الحسن الأشعري) ، سمعت الشيخ الفقيه أبا الفتح نصر الله بن محمد بن عبد القوي المصيصي يقول: توفي الشيخ نصر بن إبراهيم المقدسي في يوم الثلثاء التاسع من المحرم سنة تسعين وأربعمائة بدمسق ، وأقمنا علي قبره سبع ليال نقرأ كل ليلة عشرين ختمة . إهـ

Dan berkata Al Hafid As Suyuthi di kitab beliau Al Hawii Lil Fatawa “saya mendengar bahwa ahli Fiqih Abul Fath Nasrullah Bin Muhammad Bin Abdul Qowiy Al Musishi berkata: telah meninggal Syeikh Nasr Bin Ibrahim Al Muqoddasy pada hari selasa tanggal 9 Muharrm tahun 409 H di Damaskus (syiria) dan kita membacakan Al Qur’an diatas quburnya selama 7 malam, dalam semalam kita membaca 20 kali khataman Qur’an.

Dan juga perkataan Imam Suyuthi bahawasanya bershodakoh makanan sampai 7 hari juga pernah berlangsung di Makkah dan Madinah semenjak masa sahabat dan masih berlangsung di zaman Imam Suyuthi hidup:

قال الحافظ السيوطي: أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنـها مستمرة إلي الآن بمكة والمدينة ، فالظاهر أنـها لم تترك من عهد الصحابة إلي الآن ، وأنـهم أخذوها خلفا عن سلف إلي الصدر الأول .

Berkata Imam Al Hafid As Suyuthi: bahwasanya kesunnahan memberi makan selama 7 hari telah sampai kepada saya bahwasanya telah berlangsung terus menerus sampai sekarang di makkah dan madinah, maka dhohirnya belum ditinggalkan dari masa sahabat sampai sekarang, dan bahwa mereka mengambilnya dari kaum salaf sampai masa pertama. (Al Hawi lil fatawa juz 2 hal 183).

Dari ketiga riwayat diatas dapat kita ketahui bahwa bershodaqoh makanan dan membacakan Al Qur’an untuk orang mati selama 7 hari telah ada semenjak zaman sahabat Nabi dan kaum Salaf Sholeh, sementara mereka yang menuduh acara selamatan ini warisan Agama Hindu tidak dapat menunjukkan bukti terpercaya dari naskah rujukan.

Toh jika seandainya ritual ini meniru adat Hindu, amalan ini sungguh sangat berbeda dengan mereka, dimana mereka ketika selamatan 3,7, 40, 100 dan 1000 melakukan kemungkaran dan membakar menyan untuk arwah, sementara dalam Islam tradisi itu tidak ada, yang ada adalah baca’an Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan baca’an Al Qur’an yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan jelas sekali bahwa berdzikir tersebut sesuai dengan tuntunan Qur’an dan Hadits Nabi. Sementara hidangan makanan untuk arwah diganti dengan shodaqoh untuk para hadirin, dengan berkumpul berdzikir bersamapun kerukunan bermasyarakat menjadi semakin erat, dan ukhuwah umatpun semakin kuat. Rasulullah S.A.W bersabda:

من أحب أن يبسط له فى رزقه وينسأ له فى أثره فليصل رحمه

Barang siapa yang menginginkan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung tali silaturahim.

Hadits dan ayat al Qur’an tentang keutamaan berzikir yang kami bahas di bab sebelumnya bersifat ‘aam, dalam artian boleh dilaksaakah kapan saja , tak terkecuali dilaksanakan pada malam ke 7, 40, 10, 100 dst. Hal ini kita kembalikan kepada masalah istishabul ‘aam, yaitu kita mengamalkan dalil yang bersifat ‘aam / umum sampai ada dalil yang men-takhsish/ mengkhususkan.

contoh: perintah berdzikir dalam Al Qur’an dan Hadits adalah ‘aam / umum, tidak ada satupun hadits atapun Ayat Al Qur’an yang menyebutkan berdzikir terikat waktu waktu tertentu, perintah tahlil datang secara ‘aam umum, dalam hal ini bermakna boleh berdzikir kapanpun. keculai ada dalil yang mengindikasikan bahwa berdzikir harus dilakukan pada waktu waktu tertentu, dan yang seperti itu tidak ada.

Jika saudara saudaraku masih bingung dengan pembahasan dalil yang bersifat ‘aam dan khoosh, berikut kami berikan contoh dalil ‘aam (umum) tidak ada yang men-takhsish (mengkhususkan), dan dalil ‘aam namun ada yang men-takhsish.

Dalil ‘aam namun ada yang men-takhsish

Al Qur’ansuratAl ‘Ashr ayat 2

ان الانسان لفي خسر

Sesungguhnya manusia itu berada dalam keadaan merugi.

Ayat ini ditakhsis / dikhususkan dengan ayat setelahnya yang berbunyi:

الا الذين امنوا وعملو الصالحات وتواصو با الحق وتواصو با الصبر

Kesimpulan hukum dari kedua ayat diatas: manusia yang merugi adalah manusia yang tidak beriman dan tidak menyeru dengan kebenaran dan kesabaran. Andaisaja ayat ke 2 tidak ada / tidak pernah diturunkan maka kesimpulan hukumnya adalah : orang kulit hitam, kulit putih, orang Asia, Afrika, Eropa, Australia, Amerika, kemudian orang kafir, orang muslim, beriman ataupun tidak mereka semua berada dalam keadaan merugi.

Dalil ‘aam dan tidak ada yang men-takhsish

Adalah dalil dalil tentang keutama’an berdzikir, bershodaqoh, dan membaca Al’Quran yang telah kita sebutkan di bab sebelumnya, perintah berdzikir tidak terikat waktu, dan boleh dilaksanakan kapan saja, jika tidak ada dalil yang men-takhsis atau tidak ada dalil yang melarang berdzikir pada hari ke 7, hari ke 100, hari ke 1000 dsb, maka hukum bershodaqoh, berdzikir, dan membaca Al Qur’an dihari hari tersebut adalah boleh, bahkan boleh berdzikir dimanapun dan kapanpun, walaupun seumur hidupnya digunakan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Karena dalil- dalil berdzikir bersifat ‘aam dan tidak ada yang men-takhsish. Demikian seperti yang dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh, bab ‘aam dan Khosh.

Saudara saudara kita berkiliah bahwasanya berdzikir pada hari ke 7-40-100-1000 tidak boleh, karena Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkannya. Jawaban Kami: pada pembahasan bab 1 tentang bid’ah telah kita kupas mengenai perbedaan antara mereka dan kami dalam menafsiri kata “amr” mereka yang menafsiri kata “amr” sebagai “perintah” sementara kami menafsirinya sebagai “perkara” produk fatwa mereka adalah Tahlilan Haram hukumnya karena tidak pernah diperintahkan Rasulullah, sementara Fatwa Kami adalah: Tahlilan sunnah karena isi didalamnya adalah perkara -perkara yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Adapun ibadah ibadah yang tidak terikat oleh waktu maka boleh dilakukan kapan saja, seperti bershodaqoh, membaca alqur’an, bertasbih, bertahlil, dan bersholawat kepada Nabi SAW. Tak terkecuali tahlilan, boleh dilakukan kapan saja meskipun itu dihari ke 40 ke 100 dan ke 1000 karena dalil yang menunjukkan keuatamaan bertasbih, bertahlil dan membaca Al Qur’an bersifat ‘aam (umum) dan tidak terikat waktu.

2. Pembahasan Hadits ““Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”

Di bab sebelumnya tentang pembagian Bid’ah kita telah membahas bahwa perbedaan pendapat antara kita dengan saudara- saudara kita yang menolak tahlilan adalah perbedaan pendapat dalam sudut pandang, tentang apakah yang dianggap dalam sebuah amalan? bungkus ataukah isinya? nama atau praktek di dalamnya?

Bagi saudara- saudara kita yang menganggap tahlilan dari bungkusnya/ dari namanya, maka amalan ini adalah amalan orang -orang Hindu, dan merupakan warisan dari Agama Hindu, maka Hadits ini berada dalam konteks amalan ini, yaitu tahlilan adalah menyerupai orang orang Hindu, dan Rasulullah melarang umatnya menyerupai orang orang kafir. Adapun benar tidaknya amalan ini datang dari Hindu telah kita bahas diatas.

Namun kita berpendapat bahwa yang dianggap dalam sebuah amalan ibadah adalah isinya dan praktek di dalamnya. Maka hadits ini tidak berlaku dan diluar konteks amalan kami, karena isi dari tahlilan adalah berdzikir, bertasbih, membaca Al Qur’an dan bershodaqoh, apakah praktek- praktek ibadah dalam tahlilan menyerupai orang orang hindu? Jelas berbeda, maka Hadits diatas diluar konteks tahlilan. Karena amalan amalan di dalam tahlilan sesuai dengan Syariat Islam. ( Galangahmad)
DALIL TAHLILAN HARI PERTAMA :

Disampaikan oleh Romo Yai Syekh Nashirudin Al Al Bani

APAKAH SYEKH AL BANI AHLI BID’AH DHOLALAH ???

Menurut Al Bani ulama andalan para Wahabi mengenai hadis diatas dalam kitab Misykatul Mashobih karangan Muhammad Abdulloh Al Khothib al Tibriziy cetakan Beirut dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani, dia menshohihkannya serta menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah istri dari lelaki yang meninggal :

مشكاة المصابيح – (ج 3 / ص 292)
5942 – [ 75 ] ( صحيح ) وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر يقول : ” أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه ” فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا

Artinya : Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.

Link : http://islamport.com/d/1/alb/1/81/677.html

Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih ( داعى امرأته ) ( pengundang dari istri mayit ) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh ( داعى امرأته )

DALIL TAHLILAN HARI KE TUJUH/TUJUH HARI DAN 40 HARI

INI ATSAR SHOHIH YG DINUQIL AL IMAM AL HAFIZH JALALUDDIN AS SUYUTHI MENGENAI SEDEKAH MAKANAN DARI AHLUL MAYYIT :

الحاوي للفتاوي للسيوطي – (ج 3 / ص 266)
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

“ Thowus berkata “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Bahkan Imam Suyuthi mengatakan bahwa kebiasaan tsb masih berlangsung sampai di masa beliau hidup :

الحاوي للفتاوي للسيوطي – (ج 3 / ص 288)
إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن.

Sesungguhnya kesunatan memberikan makanan selama 7 hari, telah sampai khobarnya kepada saya bahwa hal tsb merupakan perbuatan yang tetap berlangsung sampai sekarang ( yaitu masanya Al Imam Alhafizh Jalaluddin Al Suyuthiy, sekitar abad ke 9 H ) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tsb TIDAK PERNAH DITINGGALKAN SEJAK MASA SAHABAT SAMPAI SEKARANG, dan TRADISI TERSEBUT MEREKA AMBIL DAةRI ULAMA KHOLAF DAN SALAF SEJAK GENERASI PERTAMA ( yaitu para sahabat).

Apakah Syekh BIN BAZZ MENGIKUTI TRADISI HINDU JUGA ???

كتاب: الدروس المهمة لعامة الأمة لشيخ عبدالعزيز بن باز و لا حرج على أهل الميت أن يدعوا جيرانهم، أو غيرهم للأكل من الطعام المهدى إليهم، و ليس لذلك وقت محدود فيما نعلم من الشرع.

Dan TIDAK MENGAPA/DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk MENGUNDANG TETANGGA-TETANGGA MEREKA, ATAU SELAIN MEREKA, UNTUK MAKAN BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini. Link : http://www.al-eman.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9%20**/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9/i148&d1574&c&p1

Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, ia berkata :
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم
. “Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana.
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya tidak apa-apa, SEBAGAIMANA KEBIASAAN MASYARAKAT TERHADAP PARA PENGUNJUNGNYA.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371).

Syaikh Ibnu Baz berkata dalam fatwa resminya:
عشاء الوالدين
س: الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله: نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو أحدهما، وله طرق متعددة، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض العمال والفقراء، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد، وبعضهم يذبح ذبيحة ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما هي الصفة المناسبة له؟ ج: الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة؛ لقول «النبي صلى الله عليه وسلم: لما سأله سائل قائلا: هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد موتهما؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما » ولقوله صلى الله عليه وسلم: «إن من أبر البر أن يصل الرجل أهل ود أبيه » «وقوله صلى الله عليه وسلم لما سأله سائل قائلا: إن أمي ماتت ولم توص أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال النبي صلى الله عليه وسلم نعم » ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له » . وهذه الصدقة لا مشاحة في تسميتها بعشاء الوالدين، أو صدقة الوالدين سواء كانت في رمضان أو غيرهم
ا “HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUA
Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar?
Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 253-254).
Link :
http://islamancient.com/play.php?catsmktba=34354
(WA)

KEUTAMAAN DAN KIAT MENUNTUT ILMU

Friday, April 10th, 2015

Tips Menuntut Ilmu ala Ulama Salaf

Bukanlah suatu kebetulan para ulama salaf (terdahulu) seperti Imam Syafi’i memiliki ilmu yang luas serta karya yang begitu mendalam. Kitab Al-Umm yang merupakan kumpulan fiqih hasil pemikiran Imam Syafi’i, sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ulama. Tidak kalah hebat, murid Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, membuat kitab Al-Musnad, yang di dalamnya memuat lebih dari 27 ribu hadits. Lantas, apakah rahasia para ulama salaf ini dalam menuntut ilmu?

Rahasia 1 : Jauhi Maksiat

Dikisahkan ketika Imam Syafi’i mendatangi Imam Malik dan membaca kitab al-Muwaththa kepadanya dengan hafalan yang membuatnya kagum dan kemudian Imam Syafi’i menyertainya terus, Imam Malik berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah perbuatan maksiat, karena sesungguhnya engkau akan memiliki sesuatu yang sangat penting.”

Namun demikian, ternyata sautu ketika Imam Syafi’i mengalami kesulitan dalam menghapal. Hal itu tidak biasanya, sebab ia terkenal sebagai jenius yang hapalannya luar biasa. Maka ia pun mengadu kepada gurunya yang bernama Waki’. Imam Syafi’i berkisah ; “Aku mengadukan buruknya hapalanku kepada Waki’ Maka ia berikan petunjuk kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Dan memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada yang melakukan maksiat”

Rahasia 2 : Hindari Kekenyangan

Imam Syafi’I berkata, “Aku tidak pernah kenyang sejak berusia 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan tidur, dan melemahkan dari ibadah.”

Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah juga bercerita : “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan tidak pernah merasakan kuah makanan” Semua itu sebab karena sibuk untuk belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah. Siang hari mereka berkeliling ke para Masyaikh (guru), sedangkan malah hari mereka gunakan untuk menulis dan mengoreksi catatan.

Imam Abu Hatim melanjutkan ceritnya ; “Suatu hari, saya bersama seorang teman mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkankepada kami bahwa beliau sedang sakit. Kami pulang melewatisebuah pasardan tertarik pada ikan yang sedang dijual. Kami membelinya.Setelah sampai dirumah, ternyata waktu kajian untuk Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke sana. Lebih dari tiga hari ikan tersebut belum sempat dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami memakannya mentah – mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai.”

Rahasia 3 : Menghormati Guru

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku senantiasa membuka kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut agar ia tidak mendengarnya, karena hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’, sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya, mengatakan, “Aku tidak berani minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena menghormatinya.”

Lain lagi kisah Imam An-Nawawi, suatu hari ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili, untuk makan bersamanya. Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat memenuhinya, karena aku mempunyai uzur syar’i.” Dan ia pun meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’ Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan tetapi aku yang memakannya sedangkan aku tidak menyadarinya.’

Sungguh jarang ketiga syarat tersebut dapat dipenuhi oleh para pelajar muslim sekarang ini. Betapa hal mubah seperti menonton acara televisi, pergi ke pusat perbelanjaan, dan bermain game sudah menjadi aktivitas sehari-hari. Padahal dalam suatu hadits dikatakan bahwa “Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bergun baginya”. Semoga para ulama salaf ini dapat menjadi role model bagi para pelajar muslim sehingga mereka dapat melampaui para pendahulunya (WA)

Sabar

Monday, January 5th, 2015

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.

Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”.

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)

… KISAH NYATA DARI TANAH ARAB …

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah. Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.

Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.

Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

“Oh kamu tidak tahu?” Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.

“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.

Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar. Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan seksama.

Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.

Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.

Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.

Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.

Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…

Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..

Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.

Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..

Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.

Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.

Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.

Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.

Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema .. Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.

Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.

Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.

Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam.

Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.

Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.

Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.

Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.

Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.

Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.

Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.

Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara, Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya. Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.

Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.

Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil .. Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.

Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.

Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”

Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.

Prince memakluminya. Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”

Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″, jawab Ammar.

Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang. 1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.

Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.

Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,

Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:

“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya. Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.

Semua berubah dalam sekejap!

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.

Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.

Nothing Imposible for Allah,

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..

Bumi inipun Milik Allah, ..

Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.

Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah…

Seperti itulah buah dari kesabaran.

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.

Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”.

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)

Allahuakbar!

Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya …

Wallahua’lam bish Shawwab ….

Barakallahufikum ….

… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …

(dinukil dari internet)

Ahlus sunnah wal jamaah

Monday, January 5th, 2015

Oleh: Nur Rohmad
Penganut, Pengamal dan Pejuang Aswaja
KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Lahir 1287 H/1871 M, Wafat 1366 H/1947) adalah salah seorang ulama besar Indonesia. Selain belajar kepada para ulama pesantren di Indonesia, seperti KH Kholil Bangkalan, KH Ya’qub Siwalan dan lainnya, beliau juga menimba ilmu dari para ulama sunni di Makkah seperti Syekh Sa’id al Yamani, Sayyid Husein al Habsyi, Syekh Bakr Syatha, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Syekh Shalih Bafadhl, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi, Syekh Muhammad Nawawi al Bantani, Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Syekh Syu’aib bin Abdurrahman al Maghribi dan lainnya.
Sebagaimana guru-guru beliau, KH Hasyim Asy’ari adalah penganut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahkan kemudian menjadi tokoh pejuang Ahlussunnah paling terkemuka di Indonesia.[3]

KH Hasyim Asy’ari menegaskan akidah tanziih[4]; bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu-pun di antara makhluk-Nya, Allah bukan jism dan maha suci dari sifat-sifat jism, maha suci dari arah, masa dan tempat. Beliau menjelaskan kebolehan bertawassul dengan adz-Dzawaat al Faadhilah, seperti para nabi, Ahl al bayt dan para wali, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal, bahkan beliau sendiri sering bertawassul dalam karya-karyanya. Beliau juga menegaskan bahwa melakukan safar untuk ziarah ke makam Nabi termasuk sunnah yang disepakati oleh ummat Islam dan qurbah (perbuatan taat) yang sangat agung dan memiliki keutamaan yang sangat dianjurkan. Beliau juga menganjurkan agar peziarah bertabarruk dengan melihat Raudlah dan Mimbar Nabi.[5]

KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan kewajiban bermadzhab bagi seseorang yang bukan mujtahid mutlak meskipun telah memenuhi sebagian syarat-syarat ijtihad. Madzhab yang bisa diikuti pada dasarnya adalah madzhab siapa-pun asalkan pendirinya adalah seorang mujtahid mutlak, karena memang para ulama mujtahid mutlak bukan hanya pendiri madzhab empat, seperti Sufyan ats-Tsawri, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ishaq ibn Ra-hawaih dan lainnya, namun KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa sekelompok ulama madzhab Syafi’i menyatakan tidak boleh bertaklid kepada selain imam madzhab empat karena beberapa alasan teknis. Oleh karenanya orang yang keluar dari madzhab empat di zaman sekarang termasuk kelompok ahli bid’ah (Mubtadi’ah).[6]

Dalam menyikapi perbedaan (ikhtilaf) antara empat madzhab dan perbedaan dalam intern madzhab Syafi’i, KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa hal tersebut sah-sah saja. Sudah maklum bahwa ikhtilaf dalam furu’ itu telah terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah dan mereka tidak pernah saling menyesatkan. Begitu pula antara imam Abu Hanifah dan imam Malik misalnya, telah terjadi perbedaan pendapat dalam sekitar 4000 masalah fiqh ibadah dan mu’amalah, juga antara imam Ahmad bin Hanbal dan imam Syafi’i. Demikian pula terjadi perbedaan pendapat antara para ulama dalam intern madzhab Syafi’i, antara Syakhay al Madzhab; ar-Rafi’i dan an-Nawawi, Ahmad ibnu Hajar al Haytami dan Muhammad ar-Ramli dan para pengikut mereka. Mereka tidak pernah saling membenci, bermusuhan, iri dengki. Sebaliknya mereka tetap saling mencintai dan bersaudara dengan tulus.[7]

KH Hasyim Asy’ari juga mengikuti mayoritas ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Beliau menegaskan bahwa menggunakan tasbih, melafalkan niat (membaca Ushalli), talqin mayit, sedekah untuk mayit, tahlilan, ziarah kubur dan semacamnya adalah bid’ah hasanah bukan bid’ah sayyi-ah. [8]

Siapakah salafi dan ahli bid’ah ?
Menurut KH Hasyim Asy’ari, Salafi (Salafiyyun) di Indonesia adalah orang-orang yang mengikuti dan melestarikan cara beragama dan ajaran-ajaran para pendahulu yang membawa Islam ke tanah Jawa. Salafi (Salafiyyun) adalah para pengikut madzhab Syafi’i dalam fiqih, madzhab al Imam al Asy’ari dalam ushuluddin dan madzhab al Ghazali dan Abu al Hasan asy-Syadzili dalam tasawwuf. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti sistem bermadzhab dengan madzhab tertentu, berpegang dengan kitab-kitab yang beredar dan diakui di kalangan para ulama, mencintai Ahl al Bayt, para wali dan orang-orang saleh, bertabarruk dengan mereka ketika masih hidup atau sudah meninggal, berziarah kubur, melakukan talqin al mayyit, bersedekah untuk mayit, meyakini adanya syafa’at, meyakini manfaat doa, tawassul dan semacamnya.

Sistem bermadzhab adalah sistem yang sudah berlangsung dari masa para sahabat. Terbukti, di masa para sahabat terdapat orang-orang awam yang meminta fatwa para ulama mujtahid di kalangan mereka dan mengikuti fatwa-fatwa hukum mereka. Para ulama sahabatpun menjawab berbagai pertanyaan mereka tanpa menyebutkan dalil, dan para ulama sahabat tersebut tidak melarang orang awam mengamalkan ajaran agama dengan cara seperti itu. Ini artinya bahwa para sahabat sepakat (ijma’) bahwa orang awam harus mengikuti mujtahid sesuai dengan firman Allah ta’ala:
فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui”. (Q.S. al Anbiya’: 7)
Dan inilah sebetulnya hakekat dan praktek taqlid.

Para pelaku bid’ah (al Mubtadi’un) muncul di Indonesia pada sekitar tahun 1330 H. Ahli bid’ah tersebut menurut KH Hasyim Asy’ari terbagi ke beberapa kelompok sebagai berikut[9]:
1. Para pengikut Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua muridnya, Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi
2. Kelompok Rafidlah
3. Kelompok Ibahiyyun
4. Para Penganut Paham Reinkarnasi
5. Para Penganut Paham Hulul dan Ittihad

Pokok-pokok Ajaran Golongan Yang Dikategorikan Ahli Bid’ah
1. Pengikut Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua muridnya Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi

Rasyid Ridla dan gurunya, Muhammad Abduh mempunyai beberapa pemikiran sebagai berikut[10]:
• Mencela para ulama dan menyatakan tidak boleh taqlid kepada mereka.
• Dianjurkan kepada siapa saja untuk melakukan ijtihad tanpa ada kriteria-kriteria tertentu.
• Daging babi boleh dimakan jika direbus dalam air yang sangat mendidih sehingga kuman dan bakteri yang ada di dalamnya mati.
• Menafsirkan malaikat dengan makna “kekuatan alam” (al-Quwaa ath-Thabii’iyyah).
• Menafsirkan jin dengan makna “bakteri dan kuman” (al-Mikruubaat).
• Mendukung teori Darwin yang menyatakan bahwa asal manusia dari kera.
Oleh karena pemikiran-pemikirannya yang menyimpang, Rasyid Ridla dicela dan dibantah oleh banyak ulama, di antaranya syekh Yusuf an-Nabhani, syekh Yusuf ad-Dajawi, al-Muhaddits syekh ‘Abdullah al-Ghumari dan lain-lain. Bahkan syekh Yusuf an-Nabhani pernah menulis tentang Rasyid Ridla sebagai berikut:
وأما رشيد ذو المنار فإنه أقلهم عقلا وأكثرهم شرا
“Adapun Rasyid Ridla, penulis al-Manar sesungguhnya ia
Orang yang paling picik pikirannya dan paling banyak kesesatannya”

Sedangkan golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya yang mengkafirkan penduduk Mesir, Irak dan sekitarnya, Syam, Hijaz dan Yaman[11] memiliki ajaran-ajaran sebagai berikut:
• Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas Arsy.
• Mengkafirkan dan memusyrikkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal atau tidak hadir di hadapan orang yang bertawassul.
• Memusyrikkan orang yang mengalungkan Hiriz.
• Memusyrikkan para pengikut madzhab empat.
• Menyesatkan Tasawwuf dan Tarekat

Oleh karenanya ketika golongan Wahhabi menyerbu kota Tha-if, mereka membunuh semua orang, tua-muda, besar-kecil, rakyat dan para pejabat. Mereka menyembelih anak yang sedang menyusu ibunya, merampas harta dan menawan para wanita,[12]karena mereka menganggap penduduk Hijaz kafir musyrik.

Para ahli fiqh, hadits, tafsir serta para sufi di segenap penjuru dunia Islam telah menulis banyak sekali (lebih dari seratus) risalah-risalah kecil atau buku-buku khusus untuk membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antaranya adalah Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H), Syekh Ibnu ‘Abidin al Hanafi (W. 1252 H), Syekh Muhammad ibn Humaid (W. 1295 H), mufti Madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah, Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 1304 H), mufti madzhab Syafi’i di Makkah al Mukarramah dan ulama lainnya.

2. Kelompok Rafidlah
Mereka adalah golongan yang mencela sayyidina Abu Bakr dan Umar serta membenci seluruh sahabat Nabi kecuali sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka melampaui batas dalam mencintai sayyidina ‘Ali dan ahlul bait. Sebagian dari mereka bahkan masuk kategori kafir dan zindiq.

3. Kelompok Ibahiyyun
Mereka adalah golongan yang menyatakan bahwa seorang hamba yang sudah sampai derajat tertinggi dalam kecintaan kepada Allah, telah suci dan jernih hatinya serta telah tertanam kuat keimanan dalam kalbunya, maka gugur (tidak berlaku) baginya perintah dan larangan Allah. Dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam neraka dengan sebab perbuatan dosa besar yang ia lakukan. Sebagian dari mereka menyatakan, hamba tersebut gugur baginya ibadah-ibadah yang zhahir, dan ibadahnya hanya berupa merenung dan memperbaiki perilaku yang bathin. Paham seperti ini, menurut Sayyid Muhammad Murtdla az-Zabidi dalam Syarh Ihyaa’ Uluumiddiin sebagaimana dikutip mbah Hasyim dalam Risaalah Ahlissunnah wal Jamaa’ah, hlm. 11, adalah kekufuran, kezindikan dan kesesatan.

4. Para Penganut Paham Reinkarnasi
Mereka adalah golongan yang meyakini reinkarnasi roh dan berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang lain; disiksa atau memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh tersebut. Paham seperti ini jelas adalah kekufuran.

5. Para Penganut Paham Hulul dan Ittihad
Mereka adalah kaum shufi gadungan (Jahalah al-Mutashawwifah). Mereka berkeyakinan bahwa tiada yang ada kecuali Allah; Allah adalah keberadaan mutlak dan segala sesuatu selain-Nya tidak disifati dengan keberadaan sama sekali. Paham ini, menurut al-‘Allamah al-Amir dalam Hasyiyah ‘Abdissalam sebagaimana dikutip mbah Hasyim, adalah kekufuran yang nyata.

KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa madzhab Imamiyyah dan Zaidiyyah adalah madzhab para ahli bid’ah dan tidak boleh berpegang dengan pendapat-pendapat mereka.[13]

Setelah menjelaskan tentang berbagai golongan dan ajaran-ajaran yang menyimpang tersebut, KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa kebenaran berada pada golongan Salafi tersebut yang mengikuti jalan para salaf salih karena mereka-lah mayoritas ummat Muhammad, dan merekalah yang ajarannya sesuai dengan para ulama sunni yang ada di Haramain dan ulama al Azhar asy-Syarif yang merupakan teladan ahlul haqq. Mereka terdiri dari para ulama yang tersebar di seluruh penjuru dunia yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.

KH Hasyim Asy’ari juga sangat berempati terhadap ulama-ulama Makkah yang sempat terusir dari Makkah sekitar tahun 1343 H, seperti guru beliau ketika di Makkah, Syekh Sa’id bin Muhammad al Yamani asy-Syafi’i, Syekh Abdul Hamid Sunbul Hadidi al Hanafi, Syekh Hasan bin Sa’id al Yamani, Syekh Muhammad Ali bin Sa’id al Yamani. Mereka sempat mengungsi ke Gresik, Jawa Timur karena gangguan dan intimidasi Wahhabi terhadap para mukimin di sekitar Masjid al Haram.[14]

Faktor-faktor Penyebab Munculnya Penyimpangan
Di antara penyebab muncul dan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam Islam menurut KH Hasyim Asy’ari[15] adalah:

1. Tidak Menguasai seluk beluk bahasa Arab dan berbagai gaya bahasa (Asaalib) dalam bahasa Arab
KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa sekian banyak orang tersesat dari jalan yang benar dikarenakan mengikuti pemahaman orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai gaya bahasa dalam bahasa arab. Beliau menyatakan: “Al Ashmu’i meriwayatkan dari al Khalil dari Abu ‘Amr ibn al ‘Ala-‘, ia berkata:
“أَكْثَرُ مَنْ تَزَنْدَقَ بِالعِرَاقِ لِجَهْلِهِمْ بِالعَرَبِـيَّةِ”.
“Kebanyakan orang yang Zindik di Irak disebabkan kebodohan mereka tentang bahasa Arab.”

2. Tidak Memiliki Perangkat Keilmuan yang Cukup

Ketika menjelaskan kewajiban bermadzhab bagi orang awam, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa pemahaman orang awam tidak diperhitungkan sama sekali, selama tidak sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlul Haqq al Akabir al Akhyar.

Karena sesungguhnya masalah bukan berada pada teks-teks al Qur’an atau-pun hadits-hadits yg shahih, melainkan terletak pada pemahaman yang keliru terhadap teks-teks tersebut. Oleh karenanya, setiap ahli bid’ah dan orang yang tersesat-pun mengaku memahami ajaran-ajaran mereka yang batil dari al Kitab dan as-Sunnah, tetapi itu tidak menyelamatkan mereka dari kesalahan.

Demikian penting kaedah ini untuk diikuti dan diamalkan, sehingga KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa seseorang yang bukan mujtahid mutlak diharuskan bertaklid kepada salah satu madzhab empat dan tidak boleh memahami sendiri dan beristidlal langsung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi.

Identifikasi Beberapa Kesesatan Dan Kekufuran
KH Hasyim Asy’ari, dengan mengutip dari beberapa ulama mengidentifikasi berbagai keyakinan dan ajaran yang menyimpang dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Beliau menyatakan:[16]

“قَالَ القَاضِي عِيَاضٌ فِي الشِّفَا: إِنَّ كُلَّ مَقَالَـةٍ صَرَّحَتْ بِنَفْيِ الرُّبُـوْبِـيَّةِ أَو الوَحْدَانِيَّةِ أَوْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ أَوْ مَعَ اللهِ فَهِيَ كُفْرٌ كَمَقَالَةِ الدَّهْرِيَّةِ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوْسِ وَالَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا بِعِبَادَةِ الأَوْثَانِ أَوْ الْمَلاَئِكَةِ أَو الشَّيَاطِيْنِ أَو الشَّمْسِ أَو النُّجُوْمِ أَو النَّارِ أَوْ أَحَدٍ غَيْرِ اللهِ. وَكَذلِكَ أَصْحَابُ الْحُلُوْلِ وَالتَّـنَاسُخِ، وَكَذلِكَ مَنْ اعْـتَرَفَ بِإِلـهِيَّةِ اللهِ وَوَحْدَانِـيَّتِهِ وَلكنَّهُ اعْتَـقَدَ أَنَّهُ غَيْرُ حَيٍّ أَوْ غَيْرُ قَدِيْمٍ أَوْ أَنَّهُ مُحْدَثٌ أَوْ مُصَوَّرٌ، أَوْ ادَّعَى لَهُ وَلَدًا أَوْ صَاحِبَةً، أَوْ أَنَّهُ مُتَوَلِّدٌ مِنْ شَىْءٍ أَوْ كَائِنٌ عَنْهُ، أَوْ أَنَّ مَعَهُ فِي الأَزَلِ شَيْئًا قَدِيْمًا غَيْرَهُ، أَوْ أَنَّ ثَمَّ صَانِعًا لِلْعَالَمِ سِوَاهُ أَوْ مُدَبِّرًا غَيْرَهُ، فَذلِكَ كُلُّهُ كُفْرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى مُجَالَسَةَ اللهِ تَعَالَى وَالعُرُوْجَ إِلَيْهِ وَمُكَالَمَتَهُ أَوْ حُلُوْلَهُ فِي أَحَدِ الأَشْخَاصِ كَقَوْلِ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَـةِ وَالبَاطِـنِيَّةِ وَالنَّصَارَى، وَكَذلِكَ نَقْطَعُ عَلَى كُفْرِ مَنْ قَالَ بِقِدَمِ العَالَمِ أَوْ بَقَائِـهِ، أَوْ قَالَ بِتَـنَاسُخِ الأَرْوَاحِ وَانْتِـقَالِهَا أَبَدَ الآبَـادِ فِي الأَشْخَاصِ وَتَعْذِيْـبِهَا وَتَنْعِيْمِهَا بِحَسَبِ زَكَائِهَا وَخُبْثِهَا، وَكَذلِكَ مَنْ اعْـتَرَفَ بِالإِلـهِيَّةِ وَالوَحْدَانِـيَّةِ وَلكِنَّهُ حَجَدَ النُّـبُوَّةَ مِنْ أَصْلِهَا عُمُوْمًا أَوْ نُـبُوَّةَ نَبِيِّـنَا خُصُوْصًا، أَوْ أَحَدًا مِنَ الأَنْـبِيَاءِ الَّذِيْنَ نَصَّ اللهُ عَلَيْهِمْ بَعْدَ عِلْمِهِ بِذلِكَ فَهُوَ كَافِرٌ بِلاَ رَيْبٍ، وَكَذلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ نَبِيَّـنَا لَيْسَ الَّذِي كَانَ بِمَكَّةَ وَالْحِجَازِ، وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى نُـبُوَّةَ أَحَدٍ مَعَ نَبِيِّـنَا r أَوْ بَعْدَهُ أَوْ مَن ادَّعَى النُّـبُوَّةَ لِنَفْـسِهِ، وَكَذلِكَ مَن ادَّعَى مِنْ غُلاَةِ الْمُتَصَوِّفَـةِ أَنَّـهُ يُوْحَى إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَدَّعِ النُّـبُوَّةَ، قَالَ فِي الأَنْوَارِ: وَيُقْطَعُ بِتَكْفِيْرِ كُلِّ قَائِلٍ قَوْلاً يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى تَضْلِيْلِ الأُمَّـةِ وَتَكْفِيْرِ الصَّحَابَةِ، وَكُلِّ فَاعِلٍ فِعْلاً لاَ يَصْدُرُ إِلاَّ مِنْ كَافِرٍ كَالسُّجُوْدِ لِلصَّلِيْبِ أَو النَّارِ، أَوْ الْمَشْيِ إِلَى الكَنَائِسِ مَعَ أَهْلِهَا بِزِيِّهِمْ مِنَ الزَّنَانِيْرِ وَغَيْرِهَا”.

“Al Qadli ‘Iyadl berkata dalam kitab asy-Syifa: Setiap perkataan yang tegas menafikan rububiyyah (ketuhanan) Allah, keesaan Allah atau perkataan yang menyatakan beribadah kepada selain Allah, atau beribadah kepada sesuatu selain Allah digabung dengan ibadah kepada Allah, maka itu semua adalah kekufuran, seperti perkataan golongan Dahriyyah, orang-orang kristen, majusi, orang-orang yang menyekutukan Allah dengan menyembah berhala, para Malaikat, Setan, Matahari, bintang, api, atau siapa-pun dan sesuatu apa-pun selain Allah. Demikian pula para penganut keyakinan Hulul dan Reinkarnasi. Demikian pula orang yang mengakui ketuhanan dan keesaan Allah tetapi dia meyakini Allah tidak hidup, tidak Qadim, atau bahwa Allah baharu, berbentuk dan bergambar, atau mengklaim bahwa Allah memiliki anak, isteri, atau Allah terlahir dari sesuatu, ada dari sesuatu, atau meyakini bahwa ada sesuatu selain Allah yang qadim ada bersama Allah pada azal, atau meyakini ada pencipta atau pengatur seluruh alam ini selain Allah, itu semua adalah kekufuran dengan ijma’ (konsensus) ummat Islam. Demikian pula orang yang mengaku telah duduk-duduk bersama Allah, bertemu dan berbincang-bincang dengan Allah, atau meyakini Allah menempati tubuh seseorang seperti perkataan sebagian orang yang mengaku sufi, sebagian bathiniyyah dan orang-orang nasrani. Demikian pula kita memastikan kekufuran orang yang meyakini keqadiman alam dan kekalnya alam, atau meyakini reinkarnasi roh dan berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang lain; disiksa atau memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh tersebut. Demikian pula orang yang mengakui ketuhanan Allah dan keesaannya tetapi mengingkari kenabian secara mutlak dan umum, atau mengingkari kenabian nabi kita secara khusus, atau kenabian salah seorang nabi yang ditegaskan oleh Allah padahal dia mengetahui hal itu, maka dia kafir tanpa keraguan sedikit-pun. Begitu pula orang yang mengatakan bahwa nabi kita bukan yang berada di Makkah dan Hijaz. Demikian pula orang yang mengklaim kenabian untuk seseorang bersama (di masa) Nabi kita Muhammad atau setelahnya atau yang mengaku dirinya sebagai nabi, demikian juga para sufi (gadungan) ekstrim yang mengaku menerima wahyu meskipun tidak mengaku sebagai nabi. Dalam kitab al Anwar dikatakan: Dan dikafirkan secara pasti setiap orang yang mengucapkan perkataan yang berujung kepada penyesatan terhadap ummat Islam dan pengkafiran terhadap para sahabat. Demikian pula dikafirkan secara pasti setiap pelaku perbuatan yang tidak akan muncul kecuali dari orang kafir, seperti sujud kepada salib atau api, berjalan ke gereja bersama orang-orang kristen dengan pakaian ritual mereka seperti zunnar dan lainnya“.

Peringatan Kepada Masyarakat
Dalam Muqaddimah al Qaanun al Asaasi Li Jam’iyyah Nahdlatil Ulama, KH Hasyim Asy’ari setelah menjelaskan tentang pentingnya persaudaraan, persatuan, guyub rukun, bekerja sama dan saling tolong menolong, dan bahaya perpecahan, beliau kemudian mengingatkan para ulama madzhab empat akan bahaya golongan-golongan yang menyimpang yang telah berkonsolidasi dalam berbagai perkumpulan dan menyebutkan beberapa hadits dan atsar tentang hal itu. Salah satu hadits yang beliau sebutkan:

قَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : “إِذَا ظَهَرَت الفِتَنُ وَالبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِيْ فَلْيُظْهِرِ العَالِمُ عِلْمَهُ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ” أخرجه الخطيب البغدادي

“Jika muncul berbagai fitnah, bid’ah dan para sahabatku dicaci,maka hendaklah seorang ulama menampakkan ilmunya (menjelaskan dan menyebarkannya kepada masyarakat), jika ia tidak melakukannya maka ia terkena laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya” (H.R. al Khathib al Baghdadi).

والحمد لله وصلى الله وسلم على رسول الله ، والله أعلم وأحكم .

[3] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaa’ah fi Hadiits al-Mautaa wa Asyraath as-Saa’ah wa Bayaan Mafhuum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Baca juga Muhammad Asad Syahaab, al-‘Allaamah Muhammad Hayim Asy’ari: Waadli’ Labinah Istiqlaal Indonesia, Daar as-Shaadiq, Beirut, 1971.

[4] Lihat KH Hasyim Asy’ari, muqaddimah kitab at-Tanbiihaat al-Waajibbaat li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkaraat.

[5] Lihat KH Hasyim Asy’ari, an-Nuur al-Mubiin fii Mahabbah Sayyid al-Mursaliin, hlm. 66-75

[6] Lihat Risaalah fi Ta’akkud al-Akhdz bi Madzaahib al-Aimmah al-Arba’ah.

[7] KH Hayim Asy’ari, at-Tibyaan fii an-Nahy ‘an Muqaatha’ah al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, hlm. 16.

[8] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah Ahl as-Sunnah, hlm. 8.

[9] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 9-13.

[10] Lihat Majallah al-Manar dan Tafsir al-Manar.

[11] Lihat buku mereka yang berjudul Fath al Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 191.

[12] Lihat ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd ‘ala al Wahhabiyyah, hal. 41.

[13] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah fii Ta’akkud, hlm.29.

[14] KH Hasyim Asy’ari, Aadaab al-‘Aalim wa al-Muta’allim fii maa Yahtaaju ilaihi al-Muta’allim fii Ahwaal Ta’allumihi wa maa Yatawaqqafu ‘alaihi al-Mu’allim fii Maqaamaat Ta’liimihi, hlm.102-108.

[15] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm.13.

[16] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 14.

Kita Semakin Sulit Mencari Contoh

Monday, January 5th, 2015

(Ceramah Gus Mus Sesudah Tahlilan Mbah Zainal)
[Malam Selasa, 17 Februari 2014 M./16 Robi’uts-Tsani 1435 H.]

Malam ini kita membacakan tahlil dan mendoakan almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir. Kita itu koyok yo yo’o. Potongane (gayanya) seperti saya dan panjenengan, berani-beraninya mendoakan Kiai Zainal. Ya, kita semua sesungguhnya hanya mengharap barokah dari beliau.

Meski saya bukan wali, tapi saya meyakini Kiai Zainal itu adalah wali. Karena seperti terdapat dalam al-Qur`an, ciri wali itu tidak punya rasa takut dan tidak punya susah. Lha saya belum pernah tahu Kiai Zainal itu punya rasa takut dan susah.
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.)

Sebenarnya panjenengan itu juga bisa jadi wali, wong panjenengan sudah memiliki salah satu syaratnya. Padahal syarat menjadi wali cuma dua. Panjenengan semua sudah punya satu, yaitu mengakui bahwa Gusti Pangeran itu hanyalah Allah Ta’ala.
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ، ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Sesungguhnya orang2 yg mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.)
Jadi syarat yg pertama, menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah (قالوا ربنا الله), yg kedua adalah istiqomah (ثم استقاموا). Untuk jadi wali seperti Kiai Zainal, panjenengan kurang satu syarat saja, yaitu istiqomah. Syarat istiqomah ini memang yg paling sulit. Panjenengan menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Zainal dalam keadaan gerah masih berangkat ngimami di masjid dan tetap memikirkan santri. Sementara banyak orang yg mau sholat, tapi jarang yg sholatnya bisa istiqomah; orang yg mau mengajar juga banyak, tapi yg mengajar dengan istiqomah itu jarang; banyak yg bisa memperhatikan anaknya orang, tapi yg memperhatikan anak orang secara terus-menerus itu sedikit sekali. Istiqomah itu yg berat.

Saya itu ada gunung meletus tidak begitu kaget, meskipun abunya sampai Jogja. Tapi saya kaget mendengar kiai2 wafat, Kiai Sahal Mahfudz kemudian menyusul Kiai Zainal. Gusti Allah itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, bila mengambil ilmuNya, tidak dengan cara mencabut ilmu itu dari dada para ulama (إن الله لا يَنْتَزِعُ العلم انتزاعا من صدور العلماء), akan tetapi (بقبض العلماء) Allah mengambil ilmuNya dengan cara mewafatkan ulama: Kiai Munawwir dipundut nyawanya, sekaligus diambil ilmunya; Kiai Abdullah dipundut beserta ilmunya; Kiai Abdul Qodir dipundut beserta ilmunya; Kiai Ali Maksum dipundut beserta ilmunya; Kiai Warsun dipundut beserta ilmya; Kiai Zainal dipundut beserta ilmunya…
حتى إذا لم يَبْقَ عالم، وفي رواية: حتى إذا لم يُبْقِ عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا – أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Kalau kiai2 sudah pada diambil, orang2 bingung harus bertanya kepada siapa. Mereka kemudian bertanya kepada orang sembarangan: pokoknya asal orang pakai sorban; asal jenggotan; asal jubahan; dipanggil kiai; dipanggil ustadz; pasti akan ditanya… (فأفتوا بغير علم) maka mereka menjawab tanpa ilmu, (فضلوا وأضلوا) jadinya mereka sesat dan menyesatkan orang lain. Ini semua sekarang sudah kelihatan tanda2nya: banyak mufti jadi2an, yg ditanya apa saja bisa menjawab. Padahal yg begitu itu tanda2nya gebleq, bukan tanda orang yg alim. Tandanya orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab. Ditanya: “Bagaimana hukumnya ayam yg ketabrak mobil, ustadz?”
“Itu ayamnya masih hangat apa tidak?”
“Masih agak hangat, ustadz”
“Kalau masih agak hangat berarti agak halal…”
Sampeyan kalau mau tahu silahkan buka televisi… Ukuran jawabannya asal bisa dinalar saja…

Ada juga dikatakan: (موت العالِم موت العالَم). Pada masa ini yg sulit itu adalah mencari contoh (: teladan). Islam itu kekurangan contoh. Oleh sebab itu wajah Islam kelihatan jelek, karena kurang contoh. Yg dijadikan contoh yg jelek2. Sampeyan lihat Youtube, ada bocah edan pakai jubah, menginjak kepala… Yg begini ini yg merusak. Kalau ditanya: bagaimana baiknya, maka jawabnya: baiknya mandeg saja, gak usah lagi… Ini merusak Islam. Orang Islam saja melihatnya jijik dan muak, apalagi orang lain… Ustadze wae nggono opo maneh santrine…

Lha di (Krapyak) sini ini sudah banyak contoh. Ada Kiai Abdul Qodir, ada Kiai Ali… Kalau mau yg agak ampeg, ada Kiai Zainal. Kalau mau contoh yg gampangan, ada Kiai Ali. Ada semua contohnya. Orang itu kan macam2. Ada yg maunya ampeg, ada yg maunya enteng. Dan yg seperti ini sudah ada sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Santrinya macam2, ada yg seperti Abu Bakar, ada yg seperti Umar. Sahabat Umar itu contoh sahabat sangat berhati2. Hingga terhadap teman dan saudaranya sendiri saja keras, hingga Sahabat Kholid aja dipecat (dari jabatannya sebagai Komandan Tentara). Sahabat Abu Bakar lain, lembut. Pendekatannya berbeda. Tapi semua itu didasarkan pada rahmat dan kasih sayang. Itu yg kemudian dilanjutkan dari sejak sahabat, tabi’in, dan para ulama, hingga sampai kepada Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau punya dua orang anak buah yg berbeda: mBah Bisri yg streng dan mBah Wahab yg gampangan. Orang NU yg sedemikian banyak akhirnya punya pilihan: yg belum bisa ikut mBah Wahab, yg sudah bisa ikut mBah Bisri. Tapi manusia yg macam2 itu semua: yg hati2, yg ampeg, yang gampangan, mesti dilandasi dengan kasih sayang.

Makanya kalau saya ditanya tentang kriteria kiai itu apa, maka saya jawab: kiai itu:
الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرحمة
Mereka ini kan hanya meniru Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, yg beliau itu:
عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
Jadi yg dilakukan oleh para kiai itu hanya mencoba meniru apa yg dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Tapi yg namanya meniru Kanjeng Nabi itu ya gak mungkin bisa persis meniru semua seperti Nabi. Kalau sama persis nanti dikira ada nabi kembar. Ada yg meniru cara peribadatannya; ada yg meniru model perjuangannya; ada yg meniru cara dakwahnya. Meniru apa saja. Kanjeng Nabi itu hebat dalam bidang apa saja: termasuk saat menjadi panglima.

Jadi, meskipun orang itu pakai serban sebesar ban truk, jenggotnya puanjang hingga pusar, tapi gak punya belas kasih kepada ummat, maka saya tidak sudi memanggilnya kiai. Sebaliknya, meskipun orang itu tidak berpenampilan kiai, tapi punya belas kasih kepada ummat, maka dia itu kiai.

Sama halnya bila ada orang yg merasa pinter, dan menyatakan bahwa orang yg ber-Islam itu harus dg merujuk langsung pada Qur`an dan Hadits. Ini orang yg juga tidak punya belas kasih terhadap orang awam. Bagaimana mungkin, sementara dia saja tidak becus membaca Qur`an, dan belum tentu paham dg apa yg dibacanya. Orang Arab sendiri belum tentu paham bila membaca Qur`an secara langsung. Sampeyan bandingkan dg kiai2 zaman dulu, seperti Imam Syafi’i dan sesudahnya, yg mereka membuat buku2 pintar, seperti Sulam, Safinah, Taqrib… Ulama seperti mereka itulah yg pantas mengkaji dasar al-Qur`an Hadits secara langsung. Tidak sembarangan. Jadi orang2 awam tinggal mengikut buku2 pinter yg sudah dibuat, daripada jika mereka disuruh melihat Qur`an sendiri, tentu akan malas (aras-arasen). Beliau2 para ulama itulah, dengan dilandasi kasih sayang, membantu orang awam memahami Islam.

Dengan melihat istiqomahnya Kiai Zainal, dalam ibadah, mengajar dan membimbing santri2, paling tidak kita bisa tahu dan mencontoh bagaimana perilaku Nabi. Kita tidak perlu melihat Nabi secara langsung. Saya sendiri kadang nglamun, seumpama saya hidup di masa Nabi, tentu saya merasa enak, karena tidak perlu membaca al-Qur`an, tidak perlu belajar banyak, sebab melihat sendiri sudah ada “Qur`an berjalan”. Jadi kalau mau perlu apa2 tinggal melihat Nabi:
bagaimana membina persaudaraan yg baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana memimpin ummat yg baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana perjodohan yg baik, ya melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg orang tua, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg anak muda, melihat Kanjeng Nabi…
Semuanya tidak perlu membuka al-Qur`an dan tinggal melihat Kanjeng Nabi… Tapi kemudian tersirat pikiran waras saya, ya kalau saya ditaqdirkan ikut Kanjeng Nabi. Kalau ternyata saya ditaqdirkan ikut Abu Jahal?! Hehehe. Dah gak perlu melamun hidup di zaman Nabi. Kita hidup sekarang di zaman akhir seperti ini juga tidak apa-apa asal kita masih ikut dengan tuntunan Kanjeng Nabi…

Jadi semakin lama kita itu semakin sulit mencari contoh. Kalau kita itu rajin membaca al-Qur`an, mengerti maknanya al-Qur`an, kita gak nyari contoh itu gak papa. Kita tidak perlu banyak contoh bila kita sudah rajin membaca al-Qur`an dan mengetahui makna al-Qur`an. Tapi yg terjadi kan, kita itu gak punya contoh…, membaca al-Qur`an juga hanya ketika Bulan Romadlan… itu saja bacanya cepet2.

Kenapa kalau membeli televisi atau sepeda motor kita tidak perlu membaca buku panduannya. Padahal membeli barang2 seperti itu pasti ada buku tebal sebagai panduannya: kalau mau menghidupkan, tekan tombol yg bertuliskan “power”; bagaimana caranya memindah channel… Tapi saya yakin, panjenengan itu beli tivi atau motor itu tanpa pernah membaca buku panduannya. Lha kok bisa tahu dari mana? Ya, karena panjenengan sudah sering melihat orang menghidupkan tivi.

Demikian juga dulu para sahabat. Meskipun tidak membaca buku panduan, tapi mereka melihat dan meniru Kanjeng Nabi. Sesudah Kanjeng Nabi tidak ada, ya harus melihat para sahabat sebagai murid2 Kanjeng Nabi, dan seterusnya, sebagaimana diperintahkan oleh Kanjeng Nabi:
أصحابي كالنجوم، بأيهم اقتديتم اهتديتم

Demikian, semoga kita semua mendapatkan barokah Kiai Zainal, menjadi orang yg sholeh

Menjaga amanah

Friday, December 19th, 2014

Sejenak Pagi :

Amirul Mukminin, Umar bin Abd. Aziz, berniat istirahat sejenak setelah tenaganya terkuras krn banyaknya kesibukan pasca wafatnya khalifah sebelumnya.

Tiba2 datanglah putra beliau yg bernama Abd. Malik yg masih berusia 17 tahun. Dia berkata, “Apa yg ingin Anda lakukan, wahai Amirul Mukminin?”
Umar bin Abd. Aziz, “Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata sejenak krn sdh tdk ada lagi tenaga yg tersisa.”
Abd. Malik, “Apakah Anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang2 yg didzalimi, wahai Amirul Mukminin?”
Umar, “Wahai anakku, aku telah begadang semalaman utk mengurus pemakaman pamanmu, Sulaiman. Nanti, jk telah datang waktu dzuhur, aku akan sholat bersama manusia dan aku akan kembalikan hak orang2 yg didzalimi kpd pemiliknya, insya Allah.”
Abd. Malik, “Siapa yg menjamin bahwa Anda masih hidup hingga datang waktu dzuhur, wahai Amirul Mukminin?”

Kata2 itu telah menggugah semangat Umar. Hilanglah rasa kantuknya. Kembalilah semua kekuatan dan tekad pada jasad yg telah lelah.

Beliau berkata, “Mendekatlah engkau, Nak!” Lalu, beliau merangkul dan mencium keningnya dan berkata, “Mahasuci Alloh yg telah mengeluarkan dari tulang sulbiku seorang anak yg dapat membantu melaksanakan agamaku.”

(Copy-paste from WhatssApp Group)